Peng Koen Auw Jong yang kemudian lebih dikenal dengan nama
PK Ojong (Petrus Kanisius Ojong) adalah salah satu pendiri Kelompok Kompas – Gramedia. Dia merupakan seorang jurnalis yang berpikir mulia. Baginya idealisme tak boleh berjalan sendirian, tapi harus didampingi kecerdasan, kepiawaian berusaha, dan watak nan indah.
Meskipun sudah meninggal sejak tahun 1980, PK Ojong dikenal dengan kerja kerasnya selama masa hidupnya. Sebagai kuli tinta, sejak awal usia 30-an, PK Ojong sudah dihadapkan pada pilihan rumit, berpena tajam atau dibredel. Rasanya, mustahil menjadi jurnalis idealis. Beruntung dia punya ‘penasihat spiritual’ berhati emas yang banyak memberinya pelajaran.
Sejak lahir di
Bukit Tinggi,
25 Juli 1920, dengan nama Peng Koen Auw Jong, Ojong sudah dikaruniai hal-hal tak terkira. Sang ayah, Auw Jong Pauw, sejak dini giat membisikkan kata hemat, disiplin, dan ketekunan di telinganya. Jong Pauw yang petani di Pulau Quemoy (sekarang wilayah Taiwan) selalu memimpikan kehidupan yang lebih baik. Maka dia merantau ke Sumatera, tepatnya di Sumatera Barat.
Meski sudah menjadi juragan tembakau, trilogy hemat, disiplin, dan ketekunan tetap dipegang oleh keluarga ini yang terdiri dari 2 istri dan 11 anak. Istri pertama Jong Pauw meninggal setelah melahirkan anak ketujuh. Ojong sendiri merupakan anak sulung dari istri kedua. Saat Ojong kecil, bisa dibilang mereka keluarga kaya. Di Payakumbuh yang jumlah mobilnya sepuluh.
Sampai akhir hayat, Ojong selalu memegang perkataan ayahnya. Dia selalu menghabiskan nasi di piring dan tidak pernah menyentong nasi lebih dari yang kira-kira dapat dihabiskan. Bahkan setelah menjadi bos Kompas – Gramedia, Ojong tak berubah. “Uang kembalian Rp 25,- pun mesti dikembalikan kepada papi,” cerita putri bungsunya, Mariani.
Namun ia tak pelit pada orang atau badan sosial yang benar-benar membutuhkan, bahkan rela menyumbang sampai puluhan juta dolar. Ojong berdisiplin tinggi dan serius. Saat bersekolah di Hollandsch Chineesche School (HCS, sekolah dasar khusus warga Cina) Payakumbuh, Ojong banyak bertanya. Di rumah, dia suka bertanam. Jika adik-adiknya belum mandi sebelum pukul 17.00 maka dia akan menyeret mereka ke kamar mandi.
Kakak-kakak (tiri)-nya menganggap dia sebagai ‘orang dewasa’. Ia memang terlihat cepat matang dan senang ngobrol dengan orang dewasa di kedai kopi. Di Hollandsche Chineesche Kweekschool (HCK, sekolah guru) dia gemar membaca koran dan majalah. Dia malah sampai menelaah cara penulisan dan penyajian gagasan.
Ojong masuk Katolik dengan nama baptis Andreas. Semasa kuliah hukum, dia dikenal sering terlalu serius menanggapi segala hal. Awal karirnya dimulai sebagai seorang guru sebelum dia menjadi seorang jurnalis. Karir gurunya berakhir ketika Jepang menyerang Indonesia dan menutup semua sekolah yang ada saat itu.
Sebagai jurnalis, dia juga bekerja untuk Star seminggu kali, majalah Malaysia. Selama itu juga, dia mempunyai kesempatan untuk bekerja dengan Felix Tan.

Walau sejak di
HCK Meester Cornelis dia sudah mulai menulis, pekerjaan pertama Auwjong
adalah guru. Mudah dimengerti karena HCK memang sekolah calon guru. Dia
memilih HCK karena biayanya murah. Kebetulan, kondisi keuangan
keluarganya sepeninggal sang ayah tahun 1933 tidak terlalu baik.Selulus
HCK pada Agustus 1940, ia mengajar di kelas I Hollandsch Chineesche
Broederschool St. Johannes di kawasan Jakarta Kota. Saat Jepang menyerbu
Hindia Belanda, sekolah-sekolah ditutup. Seperti guru-guru lain,
Auwjong kehilangan mata pencaharian. Tamatlah kariernya di bidang
pendidikan. Waktu bergulir, Auwjong makin lihai memainkan pena.
Kepercayaan besar datang, menyusul pengangkatannya sebagai redaktur
pelaksana Star Weekly. Di tengah kesibukan mencari berita, dia
menyempatkan diri menimba ilmu di Rechts Hoge School (RHS), kini
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dia juga aktif membantu
kegiatan berbau sosial yang diadakan Sin Ming Hui (kini Candra Naya),
perkumpulan sosial yang didirikan Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat. Sin
Ming Hui didirikan untuk menyalurkan ketidakpuasan mereka pada para
pemuka Tionghoa yang tua-tua dan kaya-raya. Khoe dan Injo merasa para
pemuka itu tidak membela orang-orang yang diwakilinya. Khoe dan Injo
dikenal sebagai duo antikomunis. Injo Beng Goat bahkan pernah berpidato
di corong RRI, menganjurkan golongan Tionghoa selalu mendukung RI.
Kelak, Sin Ming Hui menjadi pencetus lahirnya sejumlah organisasi
sosial, di antaranya RS Sumber Waras dan Universitas Tarumanegara,
Jakarta.
Tahun 1951, Auwjong lulus RHS. Ia segera diangkat
menjadi pemimpin redaksi Star Weekly. Ia meminta para ahli menulis
tentang masalah yang hangat. Saat Amerika meledakkan bom hidrogen,
misalnya, Auwjong mencari orang yang bisa menjelaskan secara populer
kepada pembaca. Agar ceritanya tidak terlalu ilmiah, dia menyiapkan dulu
pertanyaan-pertanyaan yang lazim muncul di benak awam, kemudian
menerjemahkan keterangan rumit si ahli tadi. Auwjong sangat ahli dalam
soal seperti ini. Sebagai pengasuh rubrik tetap, dipilih mereka yang
benar-benar ahli. Umpamanya, ruang pajak diasuh Mr. Sindian
Djajadiningrat, Direktur Jenderal Iuran Negara saat itu. Sedangkan Prof.
Poorwo Soedarmo, dokter ahli gizi yang memperkenalkan konsep "Empat
Sehat Lima Sempurna", mengasuh ruang gizi.
Auwjong termasuk kutu
buku. Buku hariannya penuh judul buku, tanggal, dan harga pembeliannya.
Bahkan, selama perjalanan berangkat atau pulang kantor pun ia memelototi
bacaan. Dari koleksi bukunya, tercermin luasnya minat Auwjong. Mulai
yang berbau hukum, sejarah, kesenian, kesusasteraan, kebudayaan,
sosiologi, sains, jurnalistik, filsafat, cerita kriminal, psikologi,
tanaman, kesehatan, hingga buku masakan. Cerita tentang Perang Eropa dan
Pasifik yang dimuat Star Weekly tahun 1950-an merupakan buah kesukaan
Auwjong membaca. Sebagai pimpinan majalah yang cukup disegani, Auwjong
tak bisa menutup mata dari aktivitas berbau politik. Akhir 1953, dia
termasuk orang yang prihatin pada nasib golongan Tionghoa peranakan yang
terancam kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.

Waktu
itu, pemerintah membuat RUU yang menganggap peranakan Tionghoa di
Indonesia memiliki kewarganegaraan rangkap. Kalau mau menjadi WNI,
mereka harus aktif menolak kewarganegaraan RRC. Aturan ini sangat tidak
menguntungkan buat peranakan Tionghoa yang tinggal di pelosok dan tidak
terpelajar. Puncaknya, dalam pertemuan di Gedung Sin Ming Hui, berkumpul
sejumlah tokoh peranakan Tionghoa, di antaranya Siauw Giok Tjhan, Tan
Po Goan, Tjoeng Tin Jan, Tjoa Sie Hwie (keempatnya angota parlemen), Yap
Thiam Hien, Oei Tjoe Tat. Mereka membentuk panitia yang bertugas
meneliti masalah kewarganegaraan Indonesia bagi keturunan Tionghoa
dengan Siauw Giok Tjhan, (anggota parlemen) menjadi ketua. Panitia ini
juga melahirkan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
(Baperki). Bersama sembilan tokoh peranakan Tionghoa lainnya (di
antaranya Injo Beng Goat dan Onghokham) dia menandatangani pernyataan
berisi dukungan terhadap proses asimilasi, namun mengimbau agar prosesnya berjalan tanpa paksaan.
Pada
saat bersamaan, isi Star Weekly makin menasional. Kalau tadinya edisi
khusus hanya untuk menyambut Tahun Baru Imlek, maka kemudian ada edisi
Idul Fitri, 17 Agustus, bahkan hari Kebangkitan Nasional. Sampai tahun
1958, tirasnya sudah 52.000; angka yang mengesankan. Itu berkebalikan
dengan nasib Keng Po. Pada 1 Agustus 1957, surat kabar antikomunis itu
diberangus pemerintah tanpa alasan jelas. Namun bisa diduga, pembredelan
ini tak lepas dari peran PKI yang saat itu besar pengaruhnya di
pemerintahan. PT Keng Po mengubah nama menjadi PT Kinta (kependekan dari
kertas dan tinta).
Itu sebabnya, Auwjong jadi makin hati-hati.
Rubrik "Gambang Kromong" yang berisi sentilan dihilangkan. Sedangkan
"Timbangan" berganti nama menjadi "Intisari". Benar, Star Weekly tak
luput dari peringatan. Rubrik "Tinjauan Luar Negeri", misalnya, kerap
dianggap menyentil kebijakan luar negeri Indonesia. Puncaknya, Auwjong
dipanggil pihak yang berwenang. Satu kalimat yang ia ucapkan sekembali
dari sana ialah, "Wij zijn dood, "Kita semua mati". Seisi kantor
terdiam. Pemerintah tak pernah menyebut dengan jelas alasan penutupan
majalah bertiras 60.000 (hingga nomor terakhir, 7 Oktober 1961) itu.
Meski
dibredel, Auwjong dan para karyawan tetap masuk seperti biasa. Khoe
Woen Sioe, direktur Keng Po dan pimpinan Star Weekly berusaha
menyalurkan mereka ke unit usaha lain. Khoe sadar, kepandaian sebagian
besar anak buahnya cuma tulis-menulis dan cetak-mencetak. Maka,
didirikanlah PT Saka Widya yang menerbitkan buku-buku. Sejak itu,
Auwjong punya jabatan baru, direktur perusahaan penerbitan buku.
Saat
PT Kinta dilanda kemunduran tahun 1963, Auwjong dan
Jakob Oetama menerbitkan majalah yang diniatkan untuk membebaskan masyarakat dari
keterkucilan informasi. sejak awal 1960-an, Auwjong dan Jakob keduanya
sama-sama menjadi pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Juga pernah
sama-sama jadi guru dan punya minat besar pada sejarah. Seperti Star
Weekly, Intisari melibatkan banyak ahli. Di antaranya ahli ekonomi Prof.
Widjojo Nitisastro, penulis masalah-masalah ekonomi terkenal Drs.
Sanjoto Sastromihardjo, atau sejarawan muda Nugroho Notosusanto. Saat
itu, pergaulan Auwjong sudah sangat luas. Dia berteman baik dengan
Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan Machfudi Mangkudilaga.

Namun dia memulai perjuangannya dengan mendirikan Intisari bersama Jacob
Oetama, J. Adisubrata, dan Irawati pada 17 Agustus 1963. Intisari
kemudian disebut-sebut sebagai ‘ibu susu’ dari Kompas yang lahir dua
tahun sesudahnya. Ojong pernah sampai harus mengucapkan permintaan maaf
atas ketidakmampuan redaksi memberikan yang terbik untuk pembacanya.
Masa riuhnya Gestapu / PKI tahun 1965, sempat membuat media massa yang
diasuh Ojong goyang, namun mereka dapat bangkit kembali. Seperti Star Weekly, ia hitam-putih
dan telanjang, tanpa kulit muka. Ukurannya 14 X 17,5 cm, dengan tebal
128 halaman. Logo "Intisari"-nya sama dengan logo rubrik senama yang
diasuh Ojong di Star Weekly. Edisi perdana yang dicetak 10.000 eksemplar
ternyata laris manis.
Kira-kira
dua tahun umur Intisari, Ojong dan Jakob menerbitkan Harian Kompas.
Saat itu, hubungan antara Intisari dan Kompas mirip-mirip Star Weekly
dan Keng Po. Saling membantu, berkantor sama, bahkan wartawannya pun
merangkap. Setelah beberapa pengurus Yayasan Bentara Rakyat bertemu Bung
Karno, beliau mengusulkan nama "Kompas". Pengurus yayasan - I.J. Kasimo
(Ketua), Frans Seda (Wakil Ketua), F.C. Palaunsuka (Penulis I), Jakob
Oetama (Penulis II), dan Auwjong Peng Koen (bendahara) - setuju. Mereka
juga menyepakati sifat harian yang independen, menggali sumber berita
sendiri, serta mengimbangi secara aktif pengaruh komunis, dengan tetap
berpegang pada kebenaran, kecermatan sesuai profesi, dan moral
pemberitaan. Sesuai sifat Auwjong yang selalu merencanakan segala
sesuatunya dengan cermat, kelahiran Kompas disiapkan sematang mungkin.
Soalnya,
modal awal mereka cuma Rp 100.000,-, sebagian uang Intisari. Maka, 28
Juni 1965 terbit Kompas nomor percobaan yang pertama. Setelah tiga hari
berturut-turut berlabel percobaan, barulah Kompas yang sesungguhnya
beredar. Seperti di Intisari, karena alasan politis, nama Auwjong tak
dicantumkan di jajaran redaksi. Intisari dan Kompas membuat Ojong
bersemangat. Pagi-pagi, sebelum pukul 06.30, dia sudah menjemput para
karyawan dengan Opel Caravan. Di perjalanan, Auwjong biasa mengajak
mereka mengobrol. Pukul 07.00 Ojong sudah di kantor. "Jangan datang
pukul sembilan, kalau ingin karyawan datang pukul tujuh," cetusnya. Tapi
Kompas sendiri awalnya sering terlambat terbit hingga dijuluki komt pas
morgen (besok baru datang). Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI, Ojong
dan Jakob harus mengambil keputusan di saat paling krusial. Pelaku
kudeta baru mengeluarkan ketentuan, setiap koran yang terbit harus
menyatakan kesetiaan. "Jakob, kita tidak akan melakukannya. Sama saja
ditutup sekarang dan mungkin juga menderita sekarang atau beberapa hari
lagi," tegas Ojong.
Pilihan ini terbukti benar karena upaya PKI
gagal total. Tanggal 6 Oktober, semua koran yang tak pernah

menyatakan
setia pada upaya kup boleh terbit kembali. Keruan saja, dalam kondisi
langka koran, Kompas mulai dilirik. Beberapa hari kemudian, saat
koran-koran mapan terbit kembali, banyak pembaca tetap membeli Kompas,
karena telanjur mencintai surat kabar yang baru mereka kenal ini. Ojong
tidak pernah berambisi membuat korannya bertiras paling tinggi. "Biar
orang lain saja yang oplahnya paling besar. Kita menjadi nomor dua
terbesar saja," katanya. Menjelang akhir hayat, Ojong mulai sadar cara
kerja orang lain tak harus sama dengannya. Tak semua orang bisa bekerja
sepanjang hari tanpa berhenti sebentar pada saat-saat tertentu untuk
beroleh kesegaran baru. Tak heran, kematiannya
31 Mei 1980 terasa begitu
"mudah". Begitu mendadak, tanpa didahului sakit yang menyiksa.
Barangkali memang cuma wartawan "lurus" yang bisa begini, meninggal
dengan benda kesayangan (buku) di sampingnya.
Meskipun Ojong telah pergi, tapi dia tidak pernah benar-benar mati. Ojong mempunyai enam anak, empat di antaranya adalah laki-laki.
Sumber, Forum.vivanews.com
mail.ebahana.com
myquran.org
suprichusnul.multiply.com